Aku adalah seutas layang-layang. Sama seperti layang-layang pada umumnya, aku tidak suka diterbangkan kalau hanya untuk diturunkan kembali. Naluri seutas layang-layang hanyalah terbang dan bebas. Aku bertemu denganmu. Sudah sejak lama. Tetapi aku baru mengenalmu baru-baru ini. Kamu sangat cemerlang. Ya, itulah pikiran pertama yang kupegang teguh ketika memikirkanmu sebelumnya. Aku ada saat kau merasa jera dengan perjalananmu. Meski tidak sebaliknya. Walaupun begitu, seperti diriku hendak menyelesaikan mimipi-mimpiku dengan baik. Saat kau sejera itu, mungkin aku adalah hal yang sangat menyenangkan bagimu. Kau juga seolah akan menyertakanku dalam perjuanganmu. Karena bagimu, aku adalah hal ideal dalam urusan berjuang untuk masa depan. Tapi tidak dengan hatiku. Kau juga membuatku memutuskan sedikit jalan yang nantinya akan kau lalui. Sampai mungkin dirimu lupa, sikapmu sudah membuat sebuah hati berharap lebih banyak. Aku tidak sedang sakau. Aku benar-benar menjalani itu selam
Pekik sudah aku mengekalkan hatiku Mengempaskan gaduh-setubuh Meringkukkan dupa-duka Sendiri memeluk namamu Pekik aku hambai rekah-belah senyummu Dalam kekosongan hati Kunamai itu perkasa Sejauh butaku mengebal sudah, bebal! Seketika hampir tak usai detik tanpamu Aku mengaku kelu tak bertemu Dan, atas nama hati yang kabut Hidupku lanjur berdetak pada hadirmu Tetapi segalanya mendetik serah sekarang Bebalku berselaksa di daun pagi Merayapi embunmu demikian jauh Menemui dedusta muka-rimbamu Pekik paling kuhambarkan debam-lebam —sudah saga Yogyakarta, 4 Maret 2014 *tulisan ini lebih dulu dipublikasikan dalam mading sekolah "KEPO"